Kawasan Sebangau ditetapkan sebagai taman nasional melalui SK Menteri
Kehutanan No. 423/Menhut/II/2004 pada tanggal 19 Oktober 2004 dengan
luas + 568.700 ha. Kawasan ini terletak di antara Sungai Sebangau dan
Sungai Katingan, dan berada pada Wilayah Administrasi Kabupaten
Katingan, Kabupaten Pulang Pisau, dan Kota Palangkaraya, Provinsi
Kalimantan Tengah.
Hutan Rawa Gambut Tropika Sebangau merupakan salah satu hutan rawa
gambut yang tersisa di Propinsi Kalimantan Tengah. Saat ini, Kawasan
Sebangau merupakan kawasan yang menjadi tumpuan masyarakat karena dapat
memberikan nilai ekonomi – ekologi yang sangat penting bagi peningkatan
kualitas hidup masyarakat. Kawasan ini juga mendukung pembangunan
wilayah di Kabupaten Katingan, Kabupaten Pulang Pisau dan Kota
Palangkaraya.
Ekosistem Gambut Sebangau merupakan salah satu ekosistem yang
kondisinya relatif masih baik dibandingkan dengan daerah di sekitarnya
dan merupakan kawasan yang memainkan peranan yang sangat penting bagi
gudang penyimpanan karbon dan pengatur tata air di Kabupaten Katingan
serta Pulang Pisau dan Kota Palangkaraya. Oleh karena itu kestabilan
ekosistem ini merupakan salah satu faktor penentu kualitas hidup
manusia, baik ditingkat lokal, regional, nasional maupun global.
Sumberdaya lahan gambut dalam kondisi alami memiliki atribut khusus dan menyediakan berbagai fungsi ekologi penting dan dan berbagai produk alam. Hutan rawa gambut di kawasan Asia Tenggara, misalkan, dieksploitasi sebagai sumber kayu yang pernah menjadi pendukung pendapata nasional melalui ekspor produk hutan (Laurent dalam Page & Rieley, 1998). Selain itu, berbagai produk non kayu seperti lateks, buah-buah, bahan obat-obatan, kulit dan bunga, yang merupakan tambahan pendapatan bagi masyarakat lokal. Hutan rawa gambut juga menjadi habitat pendukung yang digunakan ikan untuk pemijahan, pendewasaan dan sumber makanan. Eksploitasi sumberdaya ikan dari hutan rawa gambut yang merupakan sumber penting protein bagi masyarakat lokal (Page & Rieley, 1998) dan merupakan sumber pendapatan penting bagi masyarakat.
Lahan rawa gambut tropika juga merupakan reservoir biodiversitas dan habitat bagi satwa langka. Meski keanekaragaman spesies pohon di kawasan hutan rawa gambut lebih rendah dari hutan tropika dataran rendah, namun spesies pohon bersifat endemik (Rieley, et al., 1997). Selain itu, ekosistem ini juga penting sebagai habitat berbagai spesies hewan, khususnya primata seperti orang utan (Pongo pygmaeus). Beberapa jenis ikan ditemukan bersifat endemik pada ekosistem ini. Selain itu, lahan gambut alami memiliki peran penting dalam keseimbangan air regional melalui fungsinya sebagai water catchment dan reservoir. Dengan kapasitas menyimpan yang besar, antara 80-90% volume gambut akan menjadi penampung air pada musim hujan dan melepaskannya secara bertahap pada musim kemarau.
Peranan hutan gambut Taman Nasional Sebangau (TNS) tidak hanya sebatas fungsi sistem penyangga kehidupan saja, tetapi lebih besar lagi karena di dalam ekosistem ini terkandung nilai-nilai ekologis dan ekonomi sumberdaya alam hayati beserta bentang alamnya. Nilai ekonomi kawasan sebangau menurut Greenomic (2006) berdasarkan skenario ketergantungan rendah saja telah mencapai 1,6 kali lipat dari nilai penerimaan potensial kayu. Bahkan nilai ekonomi kayu komersial masih lebih rendah jika dibandingkan dengan nilai ekonomi dari ekstraksi hasil hutan bukan kayu berupa pemanfaatan getah jelutung oleh masyarakat sekitar kawasan. Namun perlu dicatat disini bahwa nilai ekonomi kawasan Sebangau hanya bisa dipertahankan jika kayu komersil di dalam kawasan tidak dieksploitasi, baik melalui izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu (IUPHHK) maupun praktek-praktek penebangan liar.
Keberadaan Daerah Aliran Sungai (DAS) Katingan, Sebangau, dan Kahayan di dalam Kawasan Sebangau menurut Greenomic (2006) memberikan peranan yang sangat signifikan dalam mendukung keberlanjutan produktivitas perekonomian Kabupaten/Kota terkait, terutama perikanan dan transportasi sungai. Studi ini memperlihatkan bahwa pada skenario rendah saja, nilai ekonomi perikanan (termasuk nilai ekonomi konsumsi ikan) dan transportasi air sungai yang bergantung pada peranan hidrologis kawasan Sebangau mencapai nilai bersih sekarang Rp. 361,45 milyar (selama 55 tahun dengan nilai diskonto 10 %). Nilai ekonomi tersebut ternyata masih melebihi nilai ekonomi dari penerimaan potensial pemanfaatan kayu komersial di Kawasan Sebangau (selama 55 tahun) yakni sebesar Rp 4,55 milyar. Dengan kata lain, jika pemanfaatan kayu komersiil di Kawasan Sebangau tetap dipaksakan, maka masyarakat dan pemerintah kabupaten/kota terkait tentu harus rela untuk tidak dapat lagi menikmati nilai perikanan dan transportasi sungai sebesar Rp. 361,45 milyar tersebut secara berkelanjutan selama kurun waktu 55 tahun.
Terdegradasinya ekosistem gambut di dalam dan sekitar kawasan taman nasional akibat pembangunan kanal dan pembukaan hutan akan menyebabkan ekosistem ini peka terhadap kebakaran. Kondisi ini telah dibuktikan pada tahun 1997 pada saat terjadi bencana kekeringan El Nino, dimana pada tahun tersebut telah terjadi bencana kebakaran yang sangat hebat dengan areal yang terbakar relatif sangat luas. Didasarkan hasil pantauan data satelit sebelum dan sesudah kebakaran pada tahun 1997 di dalam areal studi seluas 2,5 juta hektar di daerah Kalimantan Tengah diketahui bahwa 32 % (790.000 ha) areal tersebut terbakar dan 91,5 % (730.000 ha) merupakan lahan gambut. Dari hasil pengukuran lapangan (ground measurement) kebakaran gambut dalam, diduga telah dilepaskan karbon ke atmosfir sebanyak 0,19 – 0,23 gigaton (Gt) sebagai akibat kebakaran gambut dalam dan karbon yang dilepaskan diperbanyak pula sebesar 0,05 Gt sebagai akibat kebakaran tajuk (overlying vegetation). Hasil ekstrapolasi menunjukkan bahwa akibat kebakaran gambut dan vegetasi di Indonesia pada tahun 1997 telah dilepaskan karbon (CO2) ke atmosfir sebesar 0,81 – 2,57 Gt, dimana hal ini setara dengan 13 – 40 % rata-rata emisi karbon tahunan global yang dihasilkan dari bahan bakar fosil, dan efek kebakaran tersebut menghasilkan konsentrasi CO2 di atmosfir terbesar sejak awal pengukuran konsentrasi karbon di atmosfir pada tahun 1957. Efek dari kebakaran tersebut memberikan kontribusi nyata terhadap kabut asap yang menutupi sebagian besar Asia Tenggara dan juga menyebabkan penurunan kualitas udara dan peningkatan permasalahan-permasalahan yang terkait dengan kesehatan manusia (Susan E. Page et al., dalam Nature, 2002)
Hutan gambut di dalam Kawasan Taman Nasional Sebangau merupakan salah satu tipe ekosistem yang memainkan peranan yang sangat penting dalam mengatur siklus air sehingga kekeringan dan banjir dapat dicegah. Namun demikian tingginya kerusakan hutan gambut di sekitar kawasan, terutama hutan gambut di areal proyek lahan gambut satu juta hektar dan masih berlangsungnya aktivitas penebangan liar di dalam kawasan taman nasional menyebabkan seringnya terjadi bencana banjir.
Banjir yang melanda Provinsi Kalimantan Tengah menurut Surya Sriyanti (Media Indonesia Online, 2006) semakin parah. Sebanyak empat kabupaten dan satu kota, yakni Barito Utara, Murung Raya, Pulang Pisau, Barito selatan dan Kota Palangkaraya terendam air antara 50 sentimeter (cm) hingga 1,5 meter. Banjir juga disebabkan karena Sungai Kahayan meluap sehingga menggenangi desa-desa di Kota Palangkaraya yakni rumah warga di Desa Petuk Ketimpun, Kelurahan Petuk Ketimpun, Kecamatan Jekan Raya dan Keluran Marang, Kecamatan Tangkiling. Selain itu banjir juga telah memutuskan jalan provinsi ruas jalan Kelurahan Kelampangan kearah Kelurahan Bereng Bengkel, Kecamatan Sebangau, Kota Palangkaraya. Selain itu Jalan provinsi sepanjang 15 km itu badan jalan yang terendam sepanjang 1,8 km dengan ketinggian air mencapai 1,3 meter, mengakibatkan sebanyak tiga desa di Kecamatan Sebangau yakni Bereng Bengkel, Danau Tindah, dan Kameloh Baru, terisolir, sehingga warga tidak bisa melakukan aktifitas kesawah dan keladang karena terendam air.
Tingginya nilai manfaat Kawasan Sebangau, baik manfaat ekologi maupun ekonomi, saat ini belum diikuti oleh tingginya kesadaran masyarakat, baik dari pihak Pemerintah Kabupaten Katingan dan Pulau Pisau serta Kota Palangkaraya. Kawasan ini masih mengalami berbagai gangguan yang dapat mengancam kelestariannya, seperti pencurian kayu liar, perburuan liar, pembangunan kanal liar, pengalihan fungsi kawasan, pembangunan jalan, pembakaran hutan, dll. Kemudian secara ekologis kawasan ini juga rentan terhadap perubahan keseimbangan ekosistem akibat telah terdegradasinya secara kuat ekosistem di sekitar kawasan dan masih berlangsungnya proses suksesi di dalam kawasan akibat eksploitasi hasil hutan sebelum ditetapkan menjadi Kawasan Taman Nasional Sebangau.
Dari Hasil citra satelit tahun 2001 – 2002 dan data image google earth 2006 diketahui bahwa disebagian besar kawasan dapat dijumpai kanal. Kanal-kanal tersebut pada umumnya banyak dijumpai disebelah utara dengan arah yang tidak beraturan dan lebar serta kedalaman yang berbeda-beda. Kanal-kanal tersebut secara langsung akan berpengaruh terhadap neraca dan fluktuasi air gambur. Kondisi ini akan berpengaruh terhadap kondisi gambut yang kemudian akan berpengaruh pula terhadap flora dan fauna penyusun ekosistem gambut sebangau.
Lebih lanjut dari data citra satelit dan hasil pemantauan lapangan tahun 2006 diketahui pula bahwa daerah di sebelah barat kawasan telah mulai terbuka dan sering terjadi kebakaran yang diduga sumber apinya berasal dari penebangan liar yang saat ini intensitasnya termasuk tinggi di daerah Sungai Bulan. Kemudian di daerah sebelah barat-selatan kawasan juga dijumpai adanya trase jalan sepanjang 28 km ke arah Bukit Beruang/Bukit Kaki. Kondisi ini menunjukkan masih rendahnya kepedulian lingkungan masyarakat, terutama pemerintah daerah, dalam melestarikan ekosistem gambut dan masih tingginya kepentingan sesaat segelintir pihak yang tidak mengindahkan bencana yang lebih besar yang akan timbul akibat perubahan lingkungan yang cukup drastis.
Tingginya manfaat ekologis dan ekonomis yang dikandung di dalam Ekosistem Gambut Sebangau dan tingginya kebutuhan masyarakat terhadap sumberdaya alam hayati dan lahan menyebabkan perlunya disusun Dokumen Rencana Pengelolaan Taman Nasional Sebangau sehingga kepentingan kelestarian ekologi dan ekonomi serta sosial budaya masyarakat dapat terpenuhi secara seimbang. Dokumen ini akan menjadi acuan berbagai pihak untuk dapat saling mendukung perlindungan dan pelestarian Kawasan Sebangau dalam jangka panjang dan pemanfaatan yang berkelanjutan yang dapat digunakan bagi pembangunan wilayah dan peningkatan kesejahteraan masyarakat di Kabupaten Katingan dan Pulang Pisau dan Kota Palangkaraya.(TNS,2007)
sumber : http://amankdhay.blogspot.com/2013/04/mengenal-tn-sebangau.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar