Laman

Selasa, 21 September 2010

Anugerah Yang Hilang (Catatan Kritis Terhadap Pemerintahan SBY Jilid 2 - Sektor Kehutanan) Oleh : Muhammad Teguh Surya1

Situasi Umum Sektor Kehutanan Indonesia

Indonesia memiliki 10% dari hutan tropis dunia yang masih tersisa. Alam Indonesia merupakan peringkat ke tujuh dalam keragaman spesies tumbuhan berbunga, memiliki 12% dari jumlah spesies binatang menyusui/mamalia (36% diantaranya spesies endemik), pemilik 16% spesies binatang reptil dan ampibi, 1.519 spesies burung (28% diantaranya spesies endemik), 25% dari spesies ikan dunia 121 spesies kupu-kupu ekor walet di dunia (44% di antaranya endemik), spesies tumbuhan palem paling banyak, kira-kira 400 spesies 'dipterocarps', dan kira-kira 25.000 spesies flora dan fauna2.Namun hingga saat ini Indonesia telah kehilangan 72% hutan asli yang
ada pada awal abad ini3.

Penebangan hutan untuk industri (Industrial Logging) yang tidak terkontrol selama puluhan tahun telah menyebabkan terjadinya berkurangnya hutan tropis dalam skala besar. Laju kerusakan hutan periode 1985-1997 tercatat 1,6 juta hektar per tahun, sedangkan pada periode 1997-2000 menjadi 3,8 juta hektar per tahun; salah satu angka kerusakan hutan tertinggi di dunia.

Diperkirakan dalam lima tahun terakhir kayu yang ditebang secara illegal mencapai 23,323 juta meter kubik setiap tahunnya. Menciptakan kerugian negara sebesar 27 trilyun rupiah setiap tahunnya. Seperti fenomena gunung es, angka sebenarnya tentu jauh dari itu. Pada tahun 2003,

Departemen Kehutanan sendiri memperkirakan bahwa pada tahun yang sama lebih kurang 36,4 juta meter kubik ditebang secara illegal Sementara berdasarkan penafsiran citra landsat tahun 2000 terdapat 101,73 juta hektar hutan dan lahan rusak, diantaranya seluas 59,62 juta hektar berada dalam kawasan hutan4. Bencana ekologi semakin menunjukkan peningkatan yang significant dari tahun ke tahun, dimana Walhi menemukan bahwa pada tahun 2007 telah terjadi 205 kali bencana dan pada tahun 2008 intensitasnya meningkat sampai dengan 359 kali, sementara upaya yang dilakukan oleh pemerintah masih bersifat lip service belaka dan tidak menunjukkan upaya serius untuk mereduksi dan mencegah bencana tersebut.

Persoalan Klasik Yang Harus Segera Diselesaikan

Praktek alih fungsi kawasan hutan menjadi perkebunan monokultur setidaknya telah menuai bencana berkelanjutan bagi masyarakat yang hidup disekitar wilayah tersebut. Sayangnya pemerintah tak pernah meunjukkan itikad baik untuk menyelesaikannya secara benar. Izin-izin konversi terus dikeluarkan ditengah kontroversi yang ada, persoalan masa lalu hanya dijawab dengan pemberian kompensasi dan pemberian “Green Label” kepada perusahaan yang selama ini merusak sumberdaya hutan dan merusak tatanan social kehidupan masyarakat. Adapun berbagai persoalan klasik yang perlu segera dituntaskan oleh Menteri Kehutanan di Kabinet Indonesia Bersatu jilid II adalah : 

Tidak adanya pengakuan akses dan control Rakyat

Sekitar 48,8 juta jiwa penduduk Indonesia tinggal didalam dan sekitar hutan (Cifor, 2000). Dimana sebagian besar penduduk tersebut melakukan praktek usahatani gabungan subsistensi dan komersial antara padi gogo dan tanaman tahunan. Berbagai produk hutan juga dikumpulkan untuk dijual dan dikonsumsi di rumah, termasuk rotan, madu, damar, daun-daunan dan buah-buahan yang dapat dimakan, termasuk satwa liar, dan ikan. Sementara perkiraan lain menyebutkan sekitar 7 juta penduduk di Sumatera dan Kalimantan bergantung pada kebun karet yang menyebar di lahan seluas kurang lebih 2,5 juta hektar. Di Sumatera saja, kira-kira 4 juta hektar lahan dikelola oleh masyarakat lokal dalam bentuk berbagai jenis wanatani (yaitu kebun berbagai spesies buah digabung dengan pertumbuhan hutan alami) tanpa bantuan dari luar.5

Walaupun tidak memiliki sertifikat tanah secara tertulis, masyarakat asli memahami bentuk tradisional pengelolaan sebagai hak adat yang diwariskan, yang diakui secara spesifik dalam pasal 18, Undang-undang Dasar Negara Indonesia. Bentuk pengakuan yang diberikan pemerintah tidaklah setegas pengakuan hak yang diberikannya kepada koorporasi. Seperti pengakuan yang disebutkan dalam Undang-Undang No 5 tahun 1960 tentang pokok-pokok Agraria dan Undang-Undang Pokok Kehutanan No 5 tahun 1967 yang kemudian diperbaharui dengan Undang-Undang Kehutanan No 41 tahun 1999.

Namun lewat kebijakan itu pula, secara tegas dinyatakan bahwa kesempatan untuk menuntut hak pemanfaatan hasil hutan maupun hak ulayat atas tanah tidak diperkenankan melebihi kepentingan nasional.

Pemerintah juga dengan sengaja menistakan keberadaan masyarakat hokum adat disekitar wilayah hutan seperti yang ditegaskan dalam peraturan perundangan tersebut dimana hutan adat adalah hutan negara yang kebetulan berada dalam wilayah masyarakat hukum adat6. Singkatnya ketika masyarakat yang telah menguasai dan mengelola hutan jauh sebelum negara ini lahir dan kemudian berkeinginan untuk melakukan pengelolaan dan pemanfaatan maka terlebih dahulu harus memohon izin kepada ‘pemilik’ barunya – Pemerintah Indonesia.
Setidaknya perilaku pemerintah seperti yang disebutkan diatas telah memicu terjadinya 300 konflik disektor kehutanan sepanjang periode 2000 – 2007.

Alih fungsi kawasan hutan

Legalisasi alih fungsi kawasan hutan untuk kepentingan koorporasi harus mendapat perhatian khusus untuk segera diselesaikan. Dimana keputusan alih fungi kawasan tidak berdasarkan pada hasil kajian yang menyeluruh dan mendalam, bahkan sering dilakukan tanpa proses prosedur yang benar, sehingga membuka ruang terjadinya praktek kolusi dan korupsi. Praktek alih fungsi kawasan ini tak jarang mengkonversi kawasan ekologi penting seperti daerah tangkapan air, wilayah hutan adat, pemukiman dan wilayah sacral masyarakat hukum adat. Tindakan alih fungsi kawasan ini telah mengakibatkan hilangnya keanekaragaman hayati yang ada, memicu terjadinya abrasi, erosi, pendangkalan dan banjir.

Sayangnya tindakan alih fungsi kawasan yang jauh dari misi perlindungan hutan dan penyelamatan rakyat ini, dilegalisasi oleh pemerintah lewat berbagai kebijakan diantaranya, UU 41/ 1999 tentang Kehutanan Pasal (1) Perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan ditetapkan oleh pemerintah dan disasarkan pada hasil penelitian terpadu, Pasal (2) perubahan peruntukan kawasan hutan berdampak penting dan cakupan yang luas serta bernilai strategis ditetapkan oleh pemerintah dengan persetujuan DPR, Pasal (3) ketentuan tata cara perubahan peruntukan dan fungsi kawasan diatur dengan PP. Sementara Prosedur alih fungsi kawasan hutan diatur dalam SK Menhut No. 70/Kpts-II/2001 tentang Penetapan Kawasan hutan, Perubahan Status dan Fungsi Kawasan Hutan, SK Menhut No. 48/ 2004 tentang Perubahan Status Kawasan Hutan . Dan keluarnya PP No. 2/ 2008 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak Yang Berasal dari Penggunaan
Kawasan Hutan Untuk Pembangunan Diluar Kehutanan (pelepasan kawasan hutan untuk pertambangan dan infrastruktur), semakin memperkuat arogansi pemerintah untuk segera menghabisi sumberdaya hutan yang tersisa. Hal ini jelas mengamcam keberlangsungan 11,4 juta hektar hutan lindung Indonesia.

Konflik satwa dan manusia makin kerap terjadi. Di Taman Nasional Bukit Barisan

Selatan dari tahun 2001 hingga Desember 2006 tercatat lebih kurang 50 kali kejadian gangguan satwa liar terutama gajah dan sekitar 35 kali gangguan harimau. Gangguan satwa liar mengakibatkankerusakan terhadap lahan pertanian, kebun, sawah, rumah-rumah penduduk, bahkan nyawa manusia7. Sementara itu, antara tahun 2002 hingga 2007 tercatat 42 orang warga tewas dan 100 ekor gajah mati akibat konflik manusia dan gajah di Sumatera8. Dan beberapa kali, komunitas lokal/adat ditempatkan sebagai pihak yang bersalah dalam konflik. Padahal, satwa-satwa keluar dari kawasan hutan akibat konversi hutan menjadi perkebunan, pertambangan dan kebun kayu skala luas.
4. Bisnis Haram Lembaga konservasi Internasional (LKI) Program ekowisata dan upaya perlindungan hutan adalah modal awal bisnis haram LKI untuk menjalankan bisnis sebenarnya. Hal ini biasanya dilakukan setelah 5 tahun si lembaga tersebut berada dalam satu wilayah yang dikonservasi. Di Taman NasionalKomodo misalnya, beberapa tahun lalu dibentuk sebuah perusahaan patungan bernama
PT Putri Naga Komodo yang sahamnya sebagian dimiliki oleh lembaga konservasi internasional (The Nature Conservancy) yang kemudian juga memperoleh hibah dari lembaga keuangan internasional (International Finance Cooperation - IFC) untuk menguatkan permodalannya. Sementara kelompok-kelompok nelayan lokal “dipaksa” untuk mencari wilayah tangkapan lainnya yang semakin jauh dari tempat tinggal mereka.

Temuan lain yang pernah dilansir oleh Washington Post9, bahwa The Nature Conservation, sebuah lembaga konservasi terkaya di dunia (yang juga beroperasi di Indonesia) dilaporkan telah melakukan pembalakan hutan, melakukan transaksi sebesar US$ 64 juta untuk membuka jalan bagi pembangunan rumah-rumah mewah di atas dataran yang rentan dan melakukan pengeboran gas alam di bawah daerah pembiakan spesies burung langka10. Bahkan dalam sebuah kesempatan, Staf dari The Nature Conservancy Indonesia menggunakan “kedekatan” dengan staf Balai Konservasi Sumberdaya Alam di sebuah provinsi agar dapat membawa Anggrek Hitam, spesies yang
dilindungi oleh Undang-Undang untuk kepentingan pribadi, dengan dalih kepentingan pelaksanaan pameran. Bisnis konservasi yang juga masih terjadi adalah bisnis spesies, termasuk didalamnya perdagangan satwa dan tumbuhan dilindungi, dan pertukaran satwa untuk kepentingan kebun binatang ataupun atas nama penelitian. Dalam tahun 2008, terjadi pengiriman feces, darah dan extract DNA dari beberapa spesies yang dilindungi di Indonesia, seperti Owa (Hylobates sp.), Orangutan (Pongo sp.), Siamang (Symphalangus
syndactylus) dan Badak Sumatera (Dicerorhinus sumatraensis)11.

Masa Depan Sektor Kehutanan – Suram

Pujian berlebihan yang diberikan oleh Menteri Kehutanan yang baru saja dilantik kepada MS. Kaban, merupakan petanda buruk akan masa depan sector kehutanan. Bahkan niat beliau untuk mengikuti model kelola hutan yang diterapkan Kaban menunjukkan bahwa beliau sepertinya sangat tidak mengerti dengan apa yang sedang dihadapi bangsa ini. Namun janji Zulkifli Hasan sebagai Menteri Kehutanan yang baru untuk memprioritaskan penyelasaian peraturan disektor kehutanan yang tumpuh tindih patut di apresiasi dan terus dikawal agar tak menjadi layu sebelum berkembang.

Kembali kepada pertanyaan, apakah Menteri Kehutanan yang baru ini berani memimpin perubahan disektor kehutanan ke arah yang lebih baik, sepertinya perlu benar-benar diwaspadai. Program prioritas penting yang sedang direncakan tak menyentuh sama sekali akar persoalan disektor kehutanan, seperti praktek pemberian izin konversi hutan alam, hutan rawa gambut untuk HTI dan perkebunan sawit yang mengakibatkan berlanjutnya praktek pembakaran hutan dan lahan. Besarnya gap antara supply dan demand industry kayu yang memicu praktek pembalakan yang merusak, dan selalu membenturkan lambannya proses penegakan hukumdengan persoalan kurangnya dukungan pendanaan bagi Departemen Kehutanan justru memperlemah posisi institusi tersebut dihadapan para investor.

Melihat banyaknya persoalan yang harus segera diselesaikan disektor kehutanan dan membandingkannya dengan cara pandang Menteri kehuatan yang baru, muncul satu pertanyaan lagi yaitu, apakah Bapak Presiden salah memilih orang atau sengaja memilih orang yang masih memiliki pola pikir ekploitatif. Sehingga bisa melanjutkan se-sembahan kepada neokolonialisme barat.

Lihat jalan keluar yang tak bermartabat yang diusulkan oleh Sang Menteri yang baru saja terpilih sebagaimana yang dipetik berikut “Dana minim bisa diantisipasi dengan mengelola ribuan hektare hutan menjadi hutan tanaman industri. Dengan pengelolaan lahan kita secara bisnis diharapkan menghasilkan dana yang tidak hanya bermanfaat bagi Dephut tapi juga untuk masyarakat”. Jalan keluar yang Ia tawarkan ini jelas bertolak belakang dengan semangat untuk menghentikan bencana kebakaran hutan dan lahan dan menyelamatkan hutan alam yang tersisa.

Mengingat Hutan Tanaman Industri yang lebih cocok disebut dengan Kebun Kayu adalah aktor utama deforestasi dan pembakaran hutan dan lahan di Indonesia. Namun tidak ada salahnya juga ketika rakyat Indonesia sedikit menaruhkan harapan perubahan pada sang Menteri tentu saja dengan terus menerus mengkritisi dan mengawal setiap kebijakan yang dikeluarkannya dan melaporkan perilaku buruk aparat kehutanan baik di daerah maupun di nasional. Bahkan tidak tertutup kemungkinan bagi rakyat untuk memperkarakan beliau di meja hijau jika memang terbukti mengkhianati kepercayaan rakyat. Krisis multidimensi yang sedang dihadapi bangsa ini hanya bisa dihentikan dengan keberanian untuk berbuat benar tanpa rasa takut untuk dikucilkan.


Referensi
1 Penulis merupakan Kepala Departemen Kampanye Eksekutif Nasional Walhi periode 2008-2012. Sebelumnya aktif di Walhi Riau
sebagai Deputi Direktur periode 2003 – Mei 2008.
2 http://www.globalforestwatch.org/bahasa/indonesia/
3 World Resource Institute, 1997
4 Makalah Badan Planologi Departemen Kehutanan, Pengelolaan Pembangunan Kehutanan dan Perkebunan yang Selaras dengan
Proses Desentralisasi/Otonomi dan Penerapan Prinsip Good Governance Ditinjau dari Aspek Koordinasi Penyusunan Kebijakan,
disampaikan dalam Lokakarya “Sinkronisasi Antara Pengelolaan Sumberdaya Alam dengan Desentralisasi – Tinjauan dari Aspek
Koordinasi Penyusunan Kebijakan” di Pekan Baru Riau, 14-15 Oktober 2003.
5 H. deForesta, A. Kusworo G. Michon, dan W.A. Djamiko, eds., Agro-forest Khas Indonesia: Sebuah SumbanganMasyarakat
(Bogor, Indonesia: International Center for Research on Agro-Forestry, 2000).
6 UU No 41/99 pasal 1 ayat (6)
7 Kompas.com, Perambahan Hutan Penyebab Konflik Manusia dengan Satwa Liar,
http://www2.kompas.com/ver1/Iptek/0703/14/162724.htm
8 KapanLagi.com, Konflik Gajah Sumatera dan Manusia Tewaskan 42 Warga, 29 Agustus 2007,
http://www.kapanlagi.com/h/0000188650.html
9 Informasi terkait The Nature Conservancy dapat dilihat di: http://www.washingtonpost.com/wpdyn/
nation/specials/natureconservancy/ dan http://www.washingtonpost.com/wpdyn/
content/linkset/2007/11/16/LI2007111600631.html
10 Sinar Harapan, LSM Konservasi Lakukan Pembalakan Hutan http://www.sinarharapan.co.id/berita/0305/19/ipt01.html
11 Departemen Kehutanan, Realisasi Ekspor Tumbuhan dan Satwa Liar (per Oktober 2008),
http://www.dephut.go.id/index.php?q=id/node/4949

Tidak ada komentar:

Posting Komentar