Mencintai Indonesia
Keanekaragaman Hayati
“Indonesia yang terdiri atas lebih dari 17.000 pulau, lebih dari 81.000 km garis pantai, dan mempunyai 43 tipe ekosistem, berada di kawasan tropik yang terletak di antara dua zona biogeografi utama yaitu Oriental dan Australia. Sejarah geologi yang rumit menyebabkan jumlah keanekaragaman hayatinya tinggi…” (M. Indrawan, R.B.Primack, J. Supriatna, 2007, “Biologi Konservasi”, Yayasan Obor Indonesia)
Sejak dulu, ratusan tahun yang lalu, keanekaragaman hayati, biodiversitas, Indonesia sudah terkenal ke seluruh dunia. Itu terutama berkat para pionir naturalis Jerman, Belanda dan Inggris yang bekerja di Indonesia dan menerbitkan karya-karyanya sehingga membuka mata dunia akan kekayaan hayati Indonesia. Keanekaragaman hayati Indonesia adalah sebuah magnet yang sangat kuat bagi para peneliti dan pencinta kehidupan.
INDONESIA & KONSEP-KONSEP BIOLOGI
Sesungguhnya, dua konsep terkenal dalam dunia biologi, ditemukan di Indonesia, yaitu sistem penamaan binomial dan teori evolusi.
Sistem penamaan makhluk hidup binomial (genus + spesies) yang dunia mengenalnya ditemukan Carolus Linnaeus, melalui karyanya “Systema Naturae” (1740), telah ditemukan 50 tahun sebelumnya oleh Rumphius, seorang ilmuwan Jerman yang bekerja di Ambon dan menerbitkan karyanya dalam 12 jilid, sayang oleh suatu intrik karyanya sangat terlambat diterbitkan di Eropa, setelah 1740.
Teori evolusi, semua orang di dunia tahu bahwa itu dikembangkan secara komprehensif oleh Charles Darwin melalui bukunya “The Origin of Species” (1859) dan buku-buku lain sesudahnya. Itu benar, tetapi tidak banyak yang tahu, bahwa sesungguhnya mekanisme evolusi yang dipercayai Darwin menyebabkan evolusi, yaitu seleksi alam, telah ditemukan juga pada waktu yang bersamaan dengan Darwin sedang memikirkannya oleh Alfred Wallace, naturalis Inggris yang mengembara di Indonesia. Justru tulisan tangan Wallace dari Ternate tentang seleksi alam dan spesiasi (pembentukn spesies) yang dikirimkan kepada Charles Darwin pada 1858 telah “menyetrum ribuan volt” Darwin untuk segera menerbitkan karyanya itu.
PARA PERINTIS PENELITIAN KEANEKARAGAMAN HAYATI INDONESIA
Saya ingin menyebut tiga nama naturalis yang ketiga-tiganya autodidak dan ekstrem dalam berkarya meneliti keanekaragaman hayati Indonesia, merekalah para pionir: Rumphius, Junghuhn dan Wallace.
Georg Eberhard Rumpf, atau lebih terkenal dengan nama Rumphius, naturalis Jerman autodidak, meneliti semua tumbuhan dan fauna di Ambon dan sekitarnya, termasuk kerang-kerang di laut, dan mengkatalogkan semua penelitiannya itu ke dalam 12 jilid buku yang dikerjakannya selama 39 tahun (1660-1699), dengan 29 tahun terakhir dalam keadaan buta (!).
Franz Wilhelm Junghuhn, naturalis peneliti Jawa, yang meneliti botani, topografi, dan gunung-gunungapi Jawa serta pembuat peta Jawa yang sangat detail, sedetail seperti zaman sekarang, seakurat peta masa kini yang dihasilkan oleh satelit. Junghuhn meneliti alam Jawa dan memetakannya selama 13 tahun (1835-1848) termasuk mendaki 40 gunungapi di Jawa dan menuliskan hasil penelitiannya dalam empat buku tebal serta melukiskan gambar-gambarnya dengan indah. Sebagai seorang ahli tumbuhan dan pendaki gunung, Junghuhn telah mengamati bagaimana jenis-jenis tumbuhan berubah sesuai ketinggian tempat mereka tumbuh, ini kemudian terkenal sebagai geografi tumbuhan Junghuhn. Karena keahliannya dalam botani pula yang membuat Junghuhn ditugaskan dalam budidaya kina, dan untuk kina inilah namanya banyak diketahui orang, meskipun karya-karya Junghuhn jauh lebih banyak daripada sekadar kina.
Alfred Russel Wallace, naturalis Inggris, mengembara di Indonesia selama delapan tahun (1854-1862), sejauh 22.000 km, yang ditempuh dengan berjalan kaki atau naik perahu, mengumpulkan 125.000 spesies serangga dan jenis fauna lainnya, mendeskripsikannya, sehingga akhirnya dia tahu bahwa Indonesia disusun oleh tiga kelompok fauna: Oriental/Asiatik, Australian, dan wilayah transisi di antara keduanya, yang kemudian disebut menurut namanya: Wallacea. Inilah konsep tentang biogeografi yang termasuk pertama di dunia. Garis Wallace, garis imajiner yang membatasi wilayah fauna Oriental dan Wallacea, adalah juga menurut namanya.
KEANEKARAGAMAN FLORA INDONESIA
Indonesia terkenal sebagai salah satu negeri terkaya di dunia akan tumbuhan/flora (Whitten dan Whitten, 2003, “Plants”, Archipelago Press). Ini sebagian karena wilayahnya yang luas, tetapi juga karena warisan kompleksitas geologinya. Banyaknya pulau telah membuat Indonesia memiliki banyak spesies endemik, yaitu spesies yang terisolasi yang tak ada di tempat lainnya. Iklim yang pada umumnya hangat juga telah membuat Indonesia begitu kaya akan flora. Wilayah Indonesia yang membentang sepanjang 5100 km telah membuatnya memiliki aneka habitat flora: rawa-rawa permanen, hutan basah, hutan kering, padang rumput, area setengah-gurun, bahkan ladang salju. Dengan banyaknya habitat, maka banyak pula keanekaragaman spesies tumbuhan.
Semua famili tumbuhan dunia terwakili dengan baik di Indonesia, hanya skala kedetailan pengetahuan kita tentang spesies-spesies dalam setiap famili berbeda-beda dari satu famili ke famili lain. Tumbuhan berbunga misalnya, telah diketahui dan dikatalogisasi dengan baik, jadi mungkin tinggal sedikit saja yang belum ditemukan; tetapi untuk lumut kerak, gabungan antara alga dan jamur, pengetahuan para ilmuwan tentang itu sangat sedikit, sehingga masih terbuka lebar penemuan-penemuan baru untuk famili ini.
Berikut ini data tentang kekayaan spesies flora dari Whitten & Whiten (2003) serta Sastrapradja (2010, “Memupuk Kehidupan di Nusantara, Yayasan Obor Indonesia) . Varietas jamur, yang telah ditemukan di Indonesia berkisar antara 4250 – 12.000 spesies dari jumlah total spesies jamur di dunia 47.000 spesies. Untuk lumut, ada sekitar 3000 spesies telah ditemukan di Indonesia dari total spesies lumut di dunia sekitar 15.000. Untuk pakis, 4000 spesies telah ditemukan, dari total dunia sekitar 16.000 spesies. Untuk tumbuhan berbunga, di Indonesia ada 20.000-25.000 spesies, yang merupakan 8 – 10 % dari total spesies di seluruh dunia. Spesies tumbuhan berbunga di Indonesia itu juga ada yang terkecil dan terbesar di dunia, yaitu Wolffia yang ukurannya hanya 0,5 mm sampai bunga rafflesia yang ukuran bunganya bisa sampai satu meter. Kemudian untuk jenis anggrek, Indonesia juga termasuk yang terkaya di dunia dengan 30.000 spesies anggrek.
Distrisbusi spesies tumbuhan di Indonesia jauh dari merata. Wilayah yang paling kaya akan spesies tumbuhan adalah hutan hujan primer di dataran rendah Kalimantan. Di sini, 34 % dari 10.000 spesies tumbuhan berbiji adalah endemik, yang tak ditemukan di tempat lain di dunia. Ini termasuk 158 dari 267 spesies pohon famili dipterocarp yang terkenal untuk tujuan komersial (kayu-kayuan). Sumatra dan Papua pun sangat kaya akan jumlah spesies. Hutan hujan Jawa, Sulawesi, Maluku, dan Nusa Tenggara tidak sekaya Kalimantan, Sumatra dan Papua dalam jumlah jenis, tetapi pulau-pulau tersebut tetap lebih kaya bila dibangdingkan dengan bagian lain dunia.
KEANEKARAGAMAN FAUNA INDONESIA
Indonesia dalam dunia keanekaragaman hayati sering disebut sebagai “megadiversity country”, itu karena kekayaan faunanya yang luar biasa. Indonesia mungkin wilayah dengan fauna yang paling unik dan paling beraneka. Tingkat endemisme fauna Indonesia pun tinggi. Para ilmuwan terus-menerus menemukan spesies baru di negeri ini ketika mereka melakukan penelitian (Whitten dan Whitten, 2003, “Wildlife”, Archipelago Press).
Indonesia menduduki peringkat atas untuk kelimpahan spesies fauna. Untuk spesies mamalia, peringkat Indonesia adalah nomor 1 paling banyak di dunia (ada 600 spesies, termasuk 40 spesies primata dari 200 primata dunia), nomor 3 di dunia untuk jumlah spesies reptil (di atas 600 spesies, taksiran 2000 spesies), nomor 4 untuk jenis burung (1519 spesies), nomor 5 untuk amfibi (270 – 1000 spesies), nomor 1 untuk spesies serangga (250.000 spesies). Sementara itu, terdapat sekitar 1500 spesies ikan air tawar di danau, sungai dan rawa-rawa.
Jumlah spesies mamalia Indonesia adalah 12 % dari total spesies mamalia dunia. Indonesia juga memiliki 16 % spesies reptil dan amfibi di dunia, 17 % spesies burung di dunia, 33 % spesies serangga. Tidak hanya jumlahnya yang banyak untuk suatu negara, tetapi juga karena sebagian spesies ini bersifat endemik, yaitu hanya ditemukan di Indonesia, tidak ada di wilayah lain di dunia. Sebanyak 430 spesies burung dari total 1500 spesies burung di Indonesia adalah endemik, juga 200 spesies endemik mamalia dari total 515 spesies mamalia yang ada di Indonesia.
Keragaman spesies fauna ini berhubungan dengan sejarah geologi Kepulauan Indonesia. Laut-laut yang mengelilingi begitu banyak pulau telah membuat Indonesia memiliki banyak spesies yang endemik. Pada awalnya ketika spesies-spesies itu datang dari daratan besar mungkin tidak endemik, tetapi ketika mendiami pulau-pulau lalu terisolasi sekian lama dengan memakan tanaman yang juga khas untuk pulau itu, lalu berevolusi, membentuk spesies baru yang endemik.
Masih banyak spesies-spesies fauna Indonesia yang belum diketahui. Beberapa spesies baru mamalia terus ditemukan, meskipun sedikit saja dan lokasinya jauh di hutan-hutan yang terpencil. Beberapa fauna tak bertulang belakang (invertebrata) seperti cacing-cacing nematoda belakangan menarik perhatian karena cacing yang bekembang di wilayah hangat dan tropis ini bermanfaat bagi pertanian. Masalah cacing termasuk yang paling sedikit diketahui di Indonesia.
Seperti tanaman, penyebaran fauna di wilayah Indonesia pun tidak merata. Penyebaran spesies terbanyak terjadi di hutan hujan primer dataran rendah Kalimantan. Di sini ada 48 % dari 210 spesies mamalia dan 24 % dari 420 spesies burung adalah endemik. Papua punya kelimpahan spesies mamalia yang lebih sedikit daripada Kalimantan, tetapi punya tingkat endemisme yang sangat tinggi: 58 % dari 125 spesies mamalianya, dan 52 % dari 602 spesies burung yang ada di Papua. Seperti juga pada tanaman, hutan hujan dataran rendah di Jawa, Sulawesi, Maluku dan Nusa Tenggara punya ragam spesies yang lebih sedikit dibandingkan di pulau-pulau lainnya.
PEMANFAATAN KEANEKARAGAMAN HAYATI INDONESIA
Walaupun keanekaragaman hayati Indonesia berjumlah tinggi, baru sekitar 600 spesies tumbuhan, 100 spesies hewan, dan 100 spesies jasad renik (mikroba) yang telah diketahui potensinya dan dimanfaatkan oleh masyarakat Indonesia untuk menunjang hidupnya (Indrawan dkk., 2007, “Biologi Konservasi”, Yayasan Obor Indonesia).
Spesies-spesies asli yang telah berhasil dibudidayakan untuk menjamin kebutuhan pangan penduduk Indonesia adalah padi, tebu dan pisang. Untuk kesehatan, adalah kunyit dan jahe, serta untuk bahan bangunan adalah bambu dan kayu sungkai.
Indonesia juga memperoleh devisa dari ekspor teh, kopi, tembakau, cokelat, dan karet. Spesies-spesies ini merupakan jenis pendatang yang diperkenalkan ke Indonesia puluhan tahun yang lalu dari berbagai tempat di dunia. Di samping yang telah dibudidayakan, banyak spesies yang telah dimanfaatkan meskipun masih hidup liar di hutan-hutan Indonesia. Tumbuhan obat seperti pasak bumi, kepuh, kedawung dan temu hitam dipanen dari populasi alami. Hutan Indonesia pun dihuni oleh kerabat liar tanaman budidaya seperti durian hutan, rambutan hutan, tengkawang, serta rotan.
Hasil hutan bukan kayu di Indonesia sangat beragam dan bila dimanfaatkan secara bijaksana dan berkelanutan dapat berkontribusi pada pemutusan rantai kemiskinan dan kerusakan ekosistem hutan alami.
KEANEKARAGAMAN HAYATI INDONESIA & PEMBANGUNAN
Keanekaragaman hayati flora dan fauna Indonesia berkembang di banyak wilayah, baik yang dekat maupun yang jauh dari pemukiman manusia. Spesies-spesies flora dan fauna itu ada yang dibudidayakan untuk kebutuhan pangan manusia dan kebutuhan lainnya. Wilayah-wilayah yang semula ditempati spesies-spesies itu pun tak jarang dibuka untuk kepentingan-kepentingan yang berhubungan dengan manusia misalnya dijadikan: lahan pemukiman, pertanian, perladangan, pertambangan, dan lain-lain. Semua kegiatan itu mau tak mau pasti akan menyusutkan keanekaragaman hayati.
Semua kepentingan untuk manusia itu misalnya pemukiman, pertanian, pertambangan adalah dalam rangka pembangunan. Dengan jumlah populasi manusia yang semakin meningkat, maka kebutuhannya pun meningkat, termasuk kebutuhan akan lahan buat kepentingan manusia. Yang semula hutan kemudian dibuka untuk dijadikan lahan pemukiman, pertanian, pertambangan guna memenuhi kebutuhan-kebutuhan manusia.
Maka, tekanan terhadap hutan dan keanekaragaman hayati secara umum semakin besar. Sering terjadi konflik, mana yang diutamakan, kepentingan manusia atau keanekaragaman hayati? Konflik ini meluas, baik di antara para ahli, organisasi di masyarakat, atau institusi pemerintah seperti tercerminkan di peraturan-peraturan antardepartemen yang saling konflik.
Saat ini, lahan daratan Indonesia 45 %-nya tertutup hutan, tetapi tingkat deforestasi cukup tinggi yaitu 2 juta ha/tahun. Keanekaragaman spesies juga menyusut. Terdapat beberapa flora dan fauna yang hampir punah. Ada 174 spesies tanaman yang hampir punah. Di dunia fauna, ada 147 spesies mamalia, 114 burung, 91 ikan air tawar yang terancam punah.
Hal di atas bukan hanya masalah Indonesia, tetapi juga dunia, baik di negara-negara maju maupun negara-negara berkembang. Secara umum, ini disebut isu lingkungan, sebuah isu yang melanda dunia. Dan di dunia dengan negara-negaranya yang semakin berhubungan (globalisasi) Indonesia pun ternyata tak bisa tidak peduli. Maka saat Konvensi mengenai Keanekaragaman Hayati diadakan di Rio de Janeiro, Brazilia tahun 1992, Indonesia ikut menandatangani hasil Konvensi Rio yang berarti Indonesia juga terikat kepada keputusan-keputusan Konvensi Rio. Dan Indonesia secara internal menindaklanjutinya dengan UU no. 5/1994 sebagai komitmen politik Indonesia untuk melaksanakan amanah yang tertulis dalam dokumen Konvensi dan program-program kerjanya yang telah disepakati oleh para pihak yang mengikuti Konvensi. Barangkali bila tidak menandatangani, Indonesia secara global akan dikucilkan dari pergaulan dunia. Apalagi Indonesia adalah negara dengan keanekaragaman hayati yang sangat besar, seolah-olah keanekaragaman hayati Indonesia itu sudah menjadi milik dunia, bukan hanya Indonesia.
Tentang pembangunan dan keanekaragaman hayati, Konvensi Rio 1992 menyatakan tiga hal: melestarikan, memanfaatkan secara berkelanjutan, dan membagi keuntungan dari pemanfaatan keanekaragaman hayati secara adil dan merata.
Sampai saat ini, banyak yang telah diusahakan oleh institusi-institusi terkait didukung lembaga-lembaga swadaya masyarakat yang terkait dengan Amanah Konvensi Rio 1992 ini. Misalnya, sampai tahun 2009, telah ada 50 kawasan taman nasional, enam di antaranya berstatus World’s Heritage Site, dan 3 lahan basah (wetland, misal rawa) untuk kepentingan internasional.
Telah ada pula ketetapan-ketetapan dan aturan-aturan larangan atau pemanfaatan hutan dan spesiesnya, hanya barangkali pelaksanaannya belum sesuai dengan harapan. Pembukaan hutan dan pembalakan liar masih terjadi, Konflik antara kepentingan melestarikan di satu sisi dan kepentingan memanfaatkan di sisi lain memang tidak mudah.
Demikian, Indonesia memang kaya akan keragaman ekosistem dan spesies flora dan fauna. Kepentingan keragamannya juga sudah menjadi bagian dunia, sehingga pengelolaan keanekaragaman hayati ini antara melestarikan dan memanfaatkannya harus terkontrol dan bijaksana.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar